Perhatian yang besar terhadap Estetika Nusantara membuat sosok yang satu ini begitu giat mengkampanyekan Estetika Nusantara secara Nasional. Prof. Dr. Dharsono, MSn sebagai seorang ilmuwan pria kelahiran Klaten, 14 Juli 1951 ini menawarkan beberapa konsep estetika (barat dan timur). Sebuah alternatif penulisan kajian dan pengamatan seni budaya sebagai salah satu model pendekatan analisis dalam penelitian, penulisan karya ilmiah dan sebagai alternatif landasan penciptaan karya seni.
Hal yang membuat ia ingin konsen dalam bidang ini adalah ketika pertama dalam disertasinya ada sebuah temuan, ternyata bahwa untuk menghadapi global itu harus melakukan sebuah studi lokal, maka mau tidak mau, semakin global, maka akan semakin lokal. Ia menambahkan jika saat ini, bangsa kita cenderung ke barat maka tidak akan bisa mengglobal, karena barat sudah menjadi milik barat, jadi kita harus studi lokal.
Ia juga berpendapat bahwa jika semuanya sudah menggunakan Estetika Nusantara maka doa itu ada dua, doa yang dilakukan dan doa yang diucapkan, jadi apa yang dilakukan demi Tuhan, apa yang diucapkan demi Tuhan, sehingga selesai, dan tidak akan lagi misalnya koruptor seperti yang sering muncul dipemberitaan saat ini. Sayangnya menurutnya selama ini Indonesia baru memiliki orang atau pejabat yang tinggi secara intelektual saja, padahal dalam kehidupan itu ada tiga yaitu bagaimana mencerdakan intelektual, emosional dan spiritual. Emosional bisa diperoleh salah satunya lewat berkesenian, dan tiga keseimbangan tersebut harus terus diperjuangkan.
Tak hanya di tempatnya mengajar, Dosen Pascasarjana ISI Surakarta ini terus mengkampanyekan Estetika Nusantara saat menjadi Dosen Luar Biasa Pascasarjana Universitas Trisakti Jakarta, Dosen Pascasarjana ISI Padang Panjang Sumatera Barat, dan Dosen Pascasarjana Unnes Semarang, juga saat menjadi tamu dan pembicara di tempat-tempat lain. Selain itu ia juga membuat semacam diskusi interaktif bernama Wedangan Markoni RRI Programa 1, setiap malam Sabtu, dari pukul sembilan hingga sebelas malam, membahas tentang kebudayaan yang berkaitan dengan kebudayaan nusantara. Ada beberapa acara diantaranya “Bukan Musik Biasa” dan “Bukan Sekedar Tari” acara yang dibuat semenjak tahun 2008 yang masih bertahan hingga saat ini sebagai bentuk diskusi juga tari dan pertunjukan diselenggarakan dua bulan sekali.
Masih banyak hal yang berkaitan dengan seni dan budaya yang diperjuangkan oleh Guru Besar Ilmu Estetika ini, seperti selama empat tahun ikut mendesak Peraturan Daerah (PERDA), hingga akhirnya Reog Ponorogo menjadi mulok bagi SD, SMP, dan SMA di Ponorogo. Membina Batik Murung Raya di Kalimantan Tengah. Menjadi Ketua Pusat Konservasi Keris Nusantara ISI Surakarta, hingga Ketua Penelitian Pengembangan Sekretariat Nasional Keris Indonsia (SNKI) pusat Jakarta. Kemudian di Borobudur juga membuat event-event pariwisata karena ia adalah ketua dari Yayasan Borobudur Art Center di Magelang hingga saat ini. Terus melakukan penelitian, membuat makalah, mengikuti pameran karya seni, membuat pagelaran seni. Bahkan ia juga menuangkan gagasannya dalam buku, hingga saat ini tercatat sudah sembilan buku hasil karyanya yang telah dipublikasikan diantaranya buku berjudul Pengantar Estetika (2004), Seni Rupa Modern (2004), Budaya Nusantara (2007), Kritik Seni (2007), Estetika Nusantara (2008), Tosan Aji (2011), dan Wacana Seni Nusantara (2012),dll.
Merasa sangat tepat mempelajari Estetika Nusantara, sejak kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) ia sudah senang sekali dengan bidang ini. Menurutnya tradisi sebetulnya sangat menyenangkan, dan akan sangat bahagia jika semua orang itu mengenal itu. Karena dalam penciptaan seni, tidak mungkin kembali ke masa lalu, meski bisa merajut masa lalu, artinya di dalam karya-karya modern bahkan mungkin karya kontemporer adalah bagaimana seorang seniman bisa memberikan sentuhan tradisi. Dengan sebuah sentuhan saja maka akan memperkaya tradisi, jadi dengan mengerti Filsafat Nusantara, dengan mengerti Estetika Nusantara maka sebuah karya akan terbuat dengan tradisi, meskipun modern tapi tetap dengan tradisi.
Perjalanan hidup Ketua Lembaga Pengkajian dan Konservasi Budaya Nusantara Surakarta ini tidak selamanya mudah. Lulus dari STM Kimia, ia terlebih dahulu bekerja di Jakarta, setelah empat tahun bekerja ia pulang, dan sempat masuk di Akademi Seni Rupa Indonesia. Kemudian masuk di IKIP Surakarta, Pendidikan Fisika. Setelah dua tahun merasa tidak cocok, kemudian pindah ke Seni Rupa namun baru setahun, kemudian berubah dengan didirikan UNS dan akhirnya masuk Jurusan Seni Rupa Fakultas SASDAYA UNS.
Melanjutkan S2, ia mendapat dua beasiswa, Beasiswa Pendidikan Pascasarjana untuk dosen dan penelitiannya dibiayai oleh Beasiswa Supersemar hingga selesai. Lulus dengan tesis berjudul Seni Lukis wayang Indonesia Dekade 1990-an (Sebuah Pendekatan Pemahaman secara Holistik), kemudian untuk S3, selain mengandalkan beasiswa ia juga bekerja sebagai konsultan dalam Proyek Pengembangan Kota Baru Parahyangan Bandung.
Profesor yang mendambakan tokoh pewayangan Kresna dan Bima, mengaku ada tiga orang yang terus mendorongnya hingga akhirnya ia menjadi seperti saat ini. Pertama adalah seorang yang bernama H.B Sutopo, wali kelas yang terus mendorongnya maju, meski sempat marah kepadanya karena tidak mau melanjutkan kuliah keluar negeri, Kedua yaitu Srihastanto dan yang ketiga adalah Prof Tabrani Premadi yang sampai sekarangpun masih dirasakan dukungannya hingga akhirnya menjadi guru besar. Sosok yang selalu bersemangat ini menganggap bahwa keberhasilan menjadi profesor itu bukan karena dirinya sendiri tapi juga karena teman-temannya, ketika selesai menempuh pendidikan maka ia berusaha untuk mengabdikan diri bukan hanya untuk perguruan tinggi, tapi juga untuk masyarakat.
Keberhasilan menurutnya adalah sebuah ibadah, hidup adalah darma. Dan hal tersebut juga selalu ia ajarkan kepada anak-anaknya. Profesor yang memiliki kebiasaan unik mandi malam ini juga mengatakan bahwa capaian hidup yang ingin dia raih adalah hidup yang wajar saja, wajar disini artinya bahwa hidup tenang dengan masyarakat, tenang dengan keluarga. Serta yang terus menjadi cita-citanya adalah mengkampanyekan Estetika Nusantara untuk kedamaian dunia.
Harapannya pada UNS semestinya sudah mulai membentuk rumpun-rumpun keilmuan, kelompok-kelompok keilmuan, jadi ada rumpun-rumpun kajian misalnya, atau ilmu-ilmu pengkaji, misalnya ada orang-orang estetika, orang kritik, orang semiotik sebagainya dalam sebuah rumpun. Kemudian ruang diskusi dosen dan ada ruang kelas, jadi tinggal datang ketempat tersebut tanpa perlu mencari ruangan, datang dan sudah bertemu dengan rumpun keilmuannya.
Jika UNS ingin lebih maju, tidak hanya dibentuk prodi atau jurusan tapi disamping itu ada rumpun keilmuan, walaupun UNS sudah ada kelompok-kelompok studi penelitian, namun rumpun-rumpun belum terjadi, dan bila perlu ada rumpun lintas fakultas. Selanjutnya UNS juga harus membuat semacam kompetensi yang jelas, apakah kompetensinya adalah misalnya perguruan tinggi basic riset, atau basic lainnya, dan dilihatnya selama kepemimpinan Rektor saat ini sudah agak meningkat yakni sudah mengarah ke enterpreneur, dan enterpreneur sudah menjadi kekuatan untuk menuju internasionalisme. Dan agar UNS lebih baik lagi dalam mengumpulkan alumni-alumni, atau dalam pengelolaan Ikatan Alumni agar bisa dikumpulkan kemudian, bahkan mungkin dari alumni ini bisa membiayai adik-adik kelas yang tidak memiliki apa-apa.