Paham bagaimana cara menangani pasien ataupun paham ilmu kedokteran sudah seharusnya melekat pada dokter. Namun ada yang menarik dari sosok dokter yang satu ini, baginya menjadi seorang dokter harus lebih membuka mata dan hal tersebut mendorongnya mempelajari ilmu lain yang dapat mendukung perannya sebagai dokter dan juga memberikan sumbangsih yang lebih besar di dunia kedokteran, menjadi dokter sekaligus advokat.
Dr. H. Rorry Hartono SpF., SH., MH. Pengalamannya bekerja di Rumah Sakit dan dengan beberapa rekan membentuk Tim Penyelesaian Sengketa Etik dan Medik, mengurus kasus-kasus klaim atau sengketa antara pasien dengan rumah sakit, pasien dengan dokter, dokter dengan dokter, ataupun rumah sakit dengan rumah sakit, membuatnya tertarik untuk mempelajari ilmu hukum secara lebih mendalam. Lulus tingkat sarjana dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret di tahun 1986, kemudian lulus tingkat dokter dari FK UNS pada tahun 1989. Setelah itu dokter yang lahir di Malang ini melanjutkan pendidikan dokter spesialis forensik di Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Tak berhenti disitu, mendapat beasiswa tugas belajar untuk meningkatkan kemampuan dokter ini pun menempuh pendidikan Pascasarjana Ilmu Hukum, Hukum Kebijakan Publik di Fakultas Hukum UNS, lulus dengan predikat cumlaude di tahun 2007, kemudian memantapkannya dengan mengambil kembali pendidikan Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Surakarta dan lulus tahun 2011. Dokter spesialis forensik ini juga mengambil pendidikan khusus profesi advokat, menjalani magang selama dua tahun di lawyer, setelah itu ia juga mengikuti ujian menjadi advokat,
Menurutnya hal lain yang melatarbelakangi ia ingin menjadi advokat adalah bidangnya di forensik yang memang parsial namun ia harus tetap dapat independent. Dan tak jarang ia bersama teman-temannya harus bersinggungan dengan kasus-kasus sengketa. Selain itu ia juga masuk dalam tim di sebuah Lembaga di Tingkat Nasional, yang juga bergerak untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus sengketa secara alternatif, non litigasi diluar pengadilan.
“Tentu hal inilah yang menjadi menarik bagi saya, kalau orang yang bersengketa kalau bisa diselesaikan dengan biaya murah dan tidak harus ngasorke (merendahkan satu sama lain). Ya itulah peran seorang mediasi, mediator dan negosiator, kedua belah pihak sama –sama senang dan tidak bermusuhan, dan tidak perlu nama tercemar di pengadilan,” imbuh dokter yang memiliki hobi fotografi ini, tentang andil atau pentingnya ilmu hukum untuk kemudian dipelajari.
Profesi sebagai dokter forensik tidak mudah untuk dijalani karena ada pula kasus-kasus berat yang harus ia tangani. Teror lewat sms, telepon, dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya pun pernah ia terima. Sebab terkadang ada request pihak-pihak tertentu yang merasa perlu ditutupi kasusnya. Namun hal semacam itu menjadi tantangan tersendiri baginya sebagai dokter, padahal dalam sebuah kasus, dokter forensik bukanlah saksi mata, tapi adalah seorang saksi ahli, dan hal tersebut juga sering disalahartikan oleh pihak-pihak lain. Dokter Rorry menganggap teror sebagai dinamika yang berkembang, kembangnya atau resiko dari sebuah pekerjaan. Keyakinannya bahwa yang membuat hidup mati bukan manusia tapi hanya Tuhan, jadi ia sepenuhnya memasrahkan hidup atau mati kepadaNYA, menikmati setiap pekerjaan, dan yang terpenting mampu berbuat untuk mensyarakat apapun yang bisa diperbuat.
Pernah menjadi Asisten di Laboratorium Parasitologi saat kuliah di FK UNS, setahun kemudian ia menjadi dosen tidak tetap di Akademi Analis Kesehatan Surakarta, yang sekarang menjadi Yayasan Pendidikan Setiabudi. Mengawali karir di Dinas Kesehatan Kota Surakarta dipekerjakan sebagai dokter poliklinik, di balai pengobatan. Sempat pula menjadi Direktur Akademi Teknik Kimia Surakarta. Tahun 1992 dipindahkan ke Puskesmas Gajahan Surakarta, kala itu Puskesmas Gajahan ditunjuk sebagai salah satu dari dua Puskesmas di Kota Surakarta bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) untuk alat kesehatan reproduksi remaja, yang mengurus hal tentang bagaimana agar anak-anak dari SD hingga SMA mengenal tentang dirinya, serta alat reproduksi. Juga tentang bahaya Infeksi Menular Seksual (IMS), bahaya narkoba, serta peran agama di dalam pembentengan hal-hal tersebut bekerjasama pula dengan Departemen Agama dan Kepolisian.
Masuk di RSUD. Dr Moewardi tahun 1999, kemudian ditugas belajarkan ke FK UGM. Pada tahun 1999 hingga 2001 bekerja sebagai Dokter IGD di rumah sakit tersebut. Setelah tahun 2003, ia dipercaya untuk mulai mempersiapkan kamar jenasah di RSUD. Dr Moewardi menjadi Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Mulai tahun 2005 dipersiapkan, lalu otopsi pertama yang dilakukan di Instalasi Kedokteran Forensik RSUD. Dr Moewardi adalah pada saat mengotopsi ulang Fathurrohman Al-Ghozi, yaitu jenasah terduga teoris yang dikirim kembali dari Filiphina, dan saat itulah penanda mulainya dibuka-nya otopsi di rumah sakit tersebut. Secara bertahap, penyidik kepolisian selanjutnya mengirimkan jenasah untuk dilakukan otopsi di RSUD. Dr Moewardi.
Masih bekerja di RSUD. Dr Moewardi, selama satu semester juga menjadi dosen di dua Fakultas Kedokteran UNS maupun Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Pernah pula menjabat sebagai Kasi Pelayanan Medis. Bergabung pula di Komite Medic, ikut meningkatkan standar rumah sakit dari akreditasi B menjadi A.
Dokter yang juga pernah melakukan kunjungan kerja di Saudi Arabia dan Singapore ini juga sempat menjadi pembimbing Akreditasi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Kemenkes. Selama satu bulan menjadi surveyor, dalam kapasitas sebagai pembimbing. Setelah sebelumnya mengikuti pelatihan selama satu hingga dua tahun, dan sudah ada sekitar 40 Rumah sakit yang sudah dinilai atau dibimbing olehnya. Mulai dari rumah sakit milik negeri, swasta, TNI, maupun POLRI, di Tingkat Nasional.
Selanjutnya di 2010, anak dari pasangan Prio Hartono dan Tetty Suparmi ini pindah ke Semarang menjadi Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Membawahi tiga seksi, yaitu Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia Kesehatan dan Organisasi Profesi, Seksi Farmasi Makanan dan Minuman Perbekalan Kesehatan (FARMANIN), dan Seksi Manajemen Informasi dan Pengembangan Kesehatan. Dan mulai 2012 hingga saat ini menjadi Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit serta Penyehatan Lingkungan (P2PL), yang berupaya agar masayarakat atau siapapun, stakeholder, bahwa melakukan pencegahan penyakit semaksimal mungkin dan pengendalian.
Meraih Adi Satya Utama pada tahun 2006, dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Dokter Rorry berharap agar teman-teman sesama dokter sadar betul akan hak dan kewajibannya, demikian juga dibutuhkan pemahaman dari berbagai pihak lain. Ia mengatakan bahwa sebuah produk layanan kesehatan produk luarnya adalah produk hukum, contoh surat keterangan kenapa seseorang itu sakit, tapi lebih ke hukum kedokteran. Dan yang saat ini berkembang, banyak persepsi yang keliru, baik dari aparat, penegak hukum, ataupun teman-teman lawyer. “Bahwa kita ini berupaya kesehatan bukan upaya kesembuhan, bahwa di upaya kesembuhan itu ada hasil sembuh cacat atau meninggal. Itu adalah hasil, itu ikut bukan urusannya manusia tapi juga urusannya Allah SWT” hal yang juga selalu ia sampaikan saat mengisi berbagai acara.
Perjalanan karir yang terbilang lancar, suami dari Anik Ismiati ini berharap agar kehidupan keluarganya bersama istri tercinta yang sudah dia pacari sejak SMA tersebut beserta empat anak dengan tiga cucu, dapat terus aman, nyaman, dan bahagia. Arti sebuah keberhasilan baginya adalah jika ia bersama teman-temannya dapat sama-sama berhasil. Untuk rekan sejawatnya ia berharap agar mau mengerti ilmu hukum di kedokteran dan belajar komunikasi karena cara berkomunikasi dapat menjadi penyebab pra-konflik, konflik sampai dengan sengketa. Ia akan berupaya terus untuk dapat memberikan pelayanan untuk meraih ridhoNYA, “kalau kita memberikan pelayan kepada yang tak terlayani, menjangkau yang tak terjangkau dengan ikhlas, dengan ridhonya Allah SWT. Marilah kita jangan cuma sukses sendiri, bersama sukses semakin sukses. Ojo sukses karepe awake dewe tok.”
Terimakasih ia ingin sampaikan kepada Dekan FK UNS yang sekarang, yaitu Prof. Dr Zainal Arifin Adnan, dr.,Sp.PD-KR-FINASIM yang telah berhasil merubah suatu pola bahwa konversi IPK yang lama menjadi konversi IPK yang baru sesuai dengan kondisi. Karena memang UNS dulu ketika pertamakali ia rasa sangat pelit dalam memberikan nilai, meski hal tersebut bagus dan ia juga bisa tetap lulus dengan nilai yang bagus pada masa itu. “Bukan Indeks Prestasi murah, kemudian menjadi murahan, tidak begitu, tapi kemudian itu menjadi satu perubahan yang besar” menurutnya.
Harapannya kepada UNS di masa sekarang, yang telah dicapai dalam rating dunia dan sebagainya perlu ditingkatkan lagi, tidak hanya dari segi kuantitas namun juga kualitas. Khususnya untuk di Fakultas Kedokteran perlu ditambah Pendidikan Forensik, karena di UNS belum ada, perlu dibuka karena bidang tersebut sangatlah dibutuhkan. Dan jika bisa ia memiliki harapan bahwa orang-orang dari FK ada Double Degre untuk Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Lalu untuk S2-nya adalah Magister Kesehatan, tidak hanya Ilmu Kesehatan tapi juga Hukum Kesehatan.